PENDEKATAN FILSAFAT POLITIK
A.
Pendekatan Sebagian vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic
Approach)
Salah satu problematik yang muncul dalam studi filsafat
politik adalah apakah filsafat politik harus dikembangkan melalui pendekatan
sebagian atau pendekatan sistematis. Sejumlah buku filsafat politik kontemporer
telah disusun dengan orientasi pada sejumlah konsep, seperti legitimasi,
otoritas, otonomi, demokrasi, pemilikan, hak-hak asasi, kebebasan dan persamaan.
Mengembangkan pembahasan atas konsep-konsep tersebut barangkali bermanfaat
untuk membantu memahami hakikat kekuasaan negara, dan dapat memberikan
inspirasi untuk membangkitkan pemikiran alternatif tentang bentuk ideal dari
organisasi masyarakat manusia. Namun, benarkah analisis konseptual merupakan
pendekatan yang paling sesuai dalam studi filsafat politik dan harus
dikembangkan oleh para mahasiswa kita?
Berbeda dengan apa yang terjadi sekitar duapuluh lima
tahun yang lalu, tekanan studi filsafat politik di negara-negara Barat telah
mengalami pergeseran, yaitu dari sekadar memberikan analisis konseptual
terhadap makna kekuasaan, kedaulatan negara atau hakikat hukum kepada gagasan
yang lebih ideal tentang keadilan, kebebasan dan komunitas untuk memberikan
evaluasi bagi kebijaksanaan dan institusi politik (Kymlicka 1990, 1). Lagipula,
dalam kenyataannya, aktivitas para filsuf selama ini memang tidak hanya
terbatas pada analisis konseptual, yaitu mengembangkan kejelasan makna
atas berbagai konsep dasar, tetapi juga mencakup aktivitas
spekulatif, aktivitas deskriptif atau fenomenologi dan aktivitas normatif
atau evaluasi. Alan Brown juga mengatakan bahwa analisis konseptual tidak dapat
menuntaskan filsafat politik; analisis
konseptual hanya merupakan bentuk penerapan suatu pendekatan dari sekian banyak
konsep kefilsafatan, sesuatu yang tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam
menyelesaikan tugas yang harus dijalankan oleh studi filsafat politik.
Karena itu, menurut Brown (1986: 15), analisis konseptual
hanya merupakan salah satu bentuk pendekatan sebagian dalam studi filsafat
politik. Menurut Brown, disamping analisis konseptual (project of conceptual
analysis), pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik juga dapat
mengambil bentuk berupa pencarian konsep-konsep normatif (project of
normative inquiry). Dalam pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang
demokrasi, misalnya, dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat
diterima sebagai sesuatu yang bernilai atau tidak bernilai.
Berbeda dengan pendekatan sebagian, pendekatan sistematis
berusaha "mengembangkan proyek yang sistematis dan bersifat mencakup semua
filsafat praktis tentang politik" (Brown, 1986, p. 15). Dengan ini,
pertama, filsafat politik melangkah jauh dari sekadar "proyek analisis
konseptual", yaitu memberikan perhatian terhadap masalah yang muncul dalam
kehidupan politik dengan memberikan petunjuk tentang prinsip keadilan atau
bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan sistematis, filsafat politik juga
dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam pencarian secara sebagian atas
premis nilai yang bersifat normatif (piecemal normative inquire). Kajian
tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal jika dilihat hanya sebagai nilai
(untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha mengkaitkannya dengan keseluruhan
nilai yang mendasari sebuah masyarakat. Begitu juga, jika seseorang
berpendapat, misalnya, bahwa kebebasan (freedom) atau persamaan (equality)
merupakan nilai-nilai yang penting, harus dilihat penting dalam arti apa dan
dibandingkan dengan apa. Secara demikian, pendekatan sistematis menyarankan
bahwa filsafat politik perlu terlibat dalam totalitas citra politik, yaitu
dengan terus menerus menemukan konsistensi pandangan politik satu sama lain,
dan karena itu mengharuskan bentuk kajian yang bersifat perbandingan (interdisciplinary)
atau memperhatikan antar hubungan dari berbagai pandangan politik. Dengan
pendekatan sistematis, filsafat politik berarti melihat “kebenaran sebagai
terletak pada keseluruhan”. Asumsinya adalah politik mengatur keseluruhan
bidang kehidupan dan banyak hal yang merupakan perhatian utama individu
ternyata juga harus mengalah dan diatur oleh kehidupan politik. Pendekatan
sistematis, pendek kata akan mendorong filsafat politik terlibat untuk
menangani baik aspek teoritis maupun aspek praktis dari pokok masalahnya.
Aspek teoritis dari pokok masalah filsafat politik akan
mencakup pembahasan sebagai berikut (Brown 1986, p. ),
- logika atau analisa yang difokuskan pada makna atau fungsi konsep-konsep seperti "baik", "benar", dan "seharusnya". Jadi analisa diarahkan pada apa yang dimaksud jika suatu masyarakat dikatakan tertib dan baik, misalnya.
- metode, yaitu bagaimana menentukan jenis-jenis pertimbangan yang dianggap relevan dan dengan cara apa dapat dilakukan evaluasi atas berbagai pilihan praktis yang saling bersaing; dengan ini kita harus dapat memberikan alasan bagi argumentasi yang kita dipergunakan dan bukti-bukti yang kita pilih.
- pertanyaan metafisik yaitu menyangkut pengujian terhadap pranggapan atas pemikiran-pemikiran dan diskursus praktis, dan memeriksa konsistensinya atau jika tidak dengan membandingkan atas dasar penemuan ilmu pengetahuan faktual atau agama.
Sedangkan aspek praktis dari pokok masalah filsafat
politik menunjuk pada penerapan (aplikasi) yaitu pengambilan keputusan atas
suatu pilihan atau kebijakan. Masalah yang diperhatikan adalah
"tindakan-tindakan atau bentuk-bentuk organisasi apa yang baik dan
tepat". Disini mengambil keputusan tentang bagaimana menjawab pertanyaan
tidak sama dengan menjawab pertanyaan yang diajukan, karena hal ini akan
menyangkut penerapan sebuah metode dan penggunaan sebuah teori dalam kehidupan
praktis.
Meskipun demikian,
sejumlah pemikir lain seperti Virginia Held mengajukan gagasan yang berbeda,
mengatakan bahwa “adanya beragam teori terpisah bagi beragam konteks terpisah
layak kita terima“. Held dalam konteks ini memang tidak secara khusus
membicarakan pendekatan filsafat politik, tetapi berbicara tentang pendekatan
studi etika atau filsafat moral. Namun, pandangannya menarik dipertimbangkan
mengingat, seperti yang sudah diuraikan, filsafat politik berhubungan erat
dengan studi tentang etika atau filsafat moral. Salah satu argumentasi Held
adalah bahwa usaha mencari sebuah teori moral ilmiah tunggal yang benar untuk
menjelaskan segala sesuatu yang terjadi dalam bidang apa saja, merupakan suatu
langkah keliru yang sangat serius yang telah dilakukan oleh para ahli teori
moral di masa lalu. Dengan ini ia mengkritik pendekatan-pendekatan yang telah
dilakukan antara lain oleh John Rawls (A Theory of Justice), Imannuel
Kant (Imperative Catagories) dan juga penganut utilitarianisme (utility),
yang dinilainya sebagai telah mengajukan teori moral yang bersifat ideal.
Menurut Held, semua pandangan itu menyajikan teori tentang apa keadilan, hak
moral dan kepentingan umum dalam sebuah masyarakat yang ideal, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat yang kita hadapi saat ini masih sangat tidak ideal,
kita bahkan belum memiliki “komunitas manusia bebas“ seperti yang dimaksudkan
oleh berbagai teori ideal. Sebaliknya, yang kita miliki hanya masyarakat
aktual, yaitu masyarakat yang merupakan produk dari peperangan, imperialisme,
eksploitasi, rasisme, patriarki, dan
pemaksaan kehendak oleh yang kuat kepada yang dikuasi. Maka, Held menganjurkan
agar kita berpegang pada teori moral yang berhubungan dengan konteks spesifik,
yaitu dengan situasi aktual kita. Berbeda dengan pendekatan sistematis, yang
berusaha mengembangkan teori moralitas politik yang tunggal dan ideal, Held
menyarankan dikembangkannya teori moralitas bagi beragam konteks. Pendekatan
semacam ini disebut Held sebagai metode moralitas eksperimental.
Saya berpendapat, pendekatan sebagian dan pendekatan
sistematis menyajikan teknik yang berbeda dan memberikan kemungkinan hasil yang
berbeda dalam usaha kita mengembangkan filsafat politik, namun kita tidak dapat
begitu saja mengabaikan pendekatan yang satu demi pendekatan yang lain.
Pendekatan sebagian dapat mendorong munculnya penemuan yang lebih mendalam dan
kritis mengenai konsep atau isu penting tertentu dalam filsafat politik dan
akan membantu menjelaskan relevansinya dengan situasi aktual yang kita hadapi,
sementara pendekatan sistematis memungkinkan lahirnya sintesis yang kreatif
dari ide-ide besar dalam teori filsafat politik. Hal yang lain adalah baik
pendekatan sebagian maupun pendekatan sistematis memerlukan kemampuan
berspekulasi, berimaginasi, sekaligus berdialog dengan ide-ide besar dalam
sejarah pemikiran manusia dan untuk pada akhirnya menghubungkannya dengan
realitas kehidupan aktual.
B. Pendekatan Pemecahan Masalah vs Pendekatan Kritis (Problem Solving vs
Critical Approach)
Pembedaan lain yang
barangkali cukup penting dan dapat membantu dalam memahami berbagai pandangan
dan strategi dalam pendekatan studi filsafat politik adalah pendekatan
pemecahan masalah (problem solving approach) dan pendekatan kritis (critical
approach) seperti yang diajukan oleh Robert Cox, seorang ilmuwan terkemuka
dalam studi hubungan internasional. Menurut Cox, pendekatan pemecahan masalah
adalah,
“menerima dunia seperti
apa adanya, dengan keseluruhan institusi dan hubungan kekuasaan dan sosial yang
berlaku, tempat semuanya diorganisasi, sebagai kerangka kerja pasti untuk menentukan
tindakan. Tujuan umum pemecahan masalah adalah untuk menjadikan berbagai
institusi dan hubungan itu bekerja secara lancar, dengan menangani secara
efektif sumber masalah tertentu“
Maka, pendekatan pemecahan masalah bukan saja menerima
tetapi juga membantu memperkuat paradigma pandangan politik yang dominan.
Dengan pendekatan ini, sistem ekonomi yang didasarkan pada paham kapitalisme
atau sosialisme, misalnya, akan diterima sebagai sesuatu yang dalam dirinya
sendiri tanpa cacat ; berbagai masalah yang timbul didalamnya hanya
dilihat sebagai masalah teknis atau managerial semata sehingga memungkinkan
sistem itu bekerja secara lebih efektif dan efisien. Begitu juga, sebuah sistem
dari kepemerintahan internasional (international governance) yang
berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai “kenyataan“ juga
akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk mengharapkan
apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
Dalam kajian ideologi berkembang apa yang dinamakan
konsepsi netral (neutral conception) tentang ideologi, yaitu ketika
ideologi dikembangkan oleh berbagai penulis dalam pengertian yang murni
deskriptif ; orang berbicara tentang sistem pemikiran, tentang sistem
kepercayaan atau tentang praktek simbolis untuk mempertahankan proyek politik
atau tindakan sosial. Di Indonesia, karya kebanyakan ahli ideologi Pancasila
dalam masa Orde Baru mungkin memberikan contoh yang jelas mengenai bagaimana
pendekatan semacam ini dikembangkan.
Tentu saja pendekatan
semacam itu tidak sesuai dengan cita rasa filsafat politik. Sifat dasar
filsafat politik adalah kritis, dan
teori kritis, sebagaimana dijelaskan Robert Cox adalah,
berdiri terpisah
dari tata dunia yang berlaku…(teori kritis) tidak menerima begitu saja berbagai
institusi dan hubungan sosial dan kekuasaan, tetapi mempertanyakannya dengan
memusatkan perhatian pada asal-usulnya, pada bagaimana, dan apakah tata dunia
itu berada pada proses perubahan. Teori kritis diarahkan untuk menilai setiap
kerangka kerja bagi tindakan atau masalah yang oleh teori pemecahan masalah
diambil sebagai ukurannya.
Pendekatan kritis, menurut Cox, juga ”diarahkan pada kompleksitas sosial
dan politik sebagai keseluruhan daripada pada bagian yang terpisah” (1986,
p. 208). Teori yang berkembang dalam filsafat politik karena itu juga
mencerminkan kecenderungan untuk menyajikan formula yang dapat dipergunakan
dalam menjawab kompleksitas sosial, politik dan ekonomi sebagai keseluruhan,
dan bukan menangani bagian tertentu dari isu sosial, politik atau ekonomi.
Teori-teori filsafat politik yang berkembang baik yang mewakili kubu
utilitarianisme, persamaan liberal, libertarianisme, marxisme hingga feminisme
pada awalnya merupakan teori yang radikal karena menentang kerangka berpikir dan perilaku
politik yang mapan, meskipun pada perkembangan selanjutnya teori-teori itu bisa
menjadi ortodoxi dan dogma. Ketika mahasiswa menerima paradigma berpikir atau
kumpulan teori tertentu dalam aliran filsafat politik dan kemudian
mempertahankan aliran teori itu atau bekerja didalamnya untuk memberi
pembenaran terhadap tata sosial politik tertentu, maka mahasiswa telah menjauh
dari pendekatan kritis ini dan mulai memeluk pendekatan pemecahan masalah.
C. Keterikatan (Commitment) Vs Pengambilan Jarak
(Detachment) dalam Filsafat Politik
Mahasiswa yang sedang
mengerjakan filsafat politik sering terdorong untuk menunjukkan keterikatannya
terhadap sebuah teori dan berusaha menerapkannya untuk menjawab atau
menjelaskan berbagai masalah politik, ekonomi atau sosial yang menarik
perhatiannya. Kecenderungan ini muncul karena pandangan bahwa dalam mengerjakan
filsafat politik mahasiswa harus menunjukkan komitmen secara politik. Dalam ilmu politik, termasuk filsafat
politik, kecenderungan semacam ini sering dianggap negatif karena mengancam
studi filsafat politik yang sungguh-sungguh (genuine), dan mahasiswa
perlu disarankan untuk selalu mengambil jarak terhadap seluruh pandangan atau
teori dalam filsafat politik. Ini berarti, mahasiswa harus dapat melepaskan
diri dari hegemoni sebuah teori, dan mencoba
mencapai objektifitas politik sebagai tujuan dalam mengembangkan
filsafat politik, jika bukan sebagai sesuatu yang memang hendak dicapai.
Memang tidak selalu mudah
memisahkan preferensi pribadi terhadap sebuah pandangan atau teori politik.
Apalagi, apa yang dinamakan ”bebas nilai” dalam filsafat politik dan juga dalam
ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan sering dianggap sebagai ilusi. Mengambil
jarak, karena itu, bukan berarti mengesampingkan keyakinan pribadi atau nilai
yang dianut, tetapi menyadari asumsi nilai sebuah teori atau aliran filsafat
politik, yaitu dengan mengungkapkan secara terbuka asumsi nilai itu dalam
mengembangkan argumen menurut sebuah teori atau aliran filsafat politik. Ini
adalah ungkapan lain tentang perlunya bersikap kritis terhadap semua aliran
teori, yaitu dengan memperlakukan nilai yang mendasari setiap teori itu sebagai
sesuatu yang juga harus diteliti.
Karena mempelajari
filsafat politik berarti juga memahami dan memberikan penilaian terhadap berbagai
pemikiran para filsuf politik, maka ini akan berhasil dilakukan jika orang
memperhatikan konteks umum dari pemikiran filsuf politik itu dan memperhatikan
masalah yang dicoba dipecahkanya. Dengan kata lain, adalah penting menghayati
kondisi ketika para filsuf politik itu menuliskan karyanya dan menghayati
tujuan mereka dalam menuliskan pemikirannya. Dalam situasi nyata, mahasiswa
memang perlu mengungkapkan “apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh John Stuart Mill“, misalnya, tetapi dalam
melakukan hal ini, mahasiswa juga perlu mempertimbangan interpretasi yang
berbeda dari sumber-sumber lain yang penting yang berhubungan dengan pandangan
utama John Stuart Mill.
Pilihan antara keterikatan
(commitment) dan pengambilan jarak (detachment) hanya menunjuk
pada perilaku atau sikap ilmuwan dalam menangani pokok masalah filsafat politik
dan bukan pada keyakinan filsofis yang dianut. Pendekatan dengan mengambil
jarak barangkali dapat dilakukan baik oleh mereka yang menganut paham
relativisme maupun paham absolutisme dalam ilmu pengetahuan. Orang tetap dapat
menjadi absolutis atau relativis meskipun ia menunjukkan keterikatan tertentu
atau ia mengambil jarak dengan sebuah teori atau aliran dalam rangka
menjelaskan dan menangani masalah filsafat politik.
Memang tidak dapat
dikatakan bahwa pendekatan keterikatan selalu buruk dan tidak sesuai dengan
cita rasa studi filsafat politik, sebab kadangkala terjadi justru ketika
seorang mahasiswa menunjukkan komitmennya terhadap konflik politik tertentu
dalam kehidupan politik maka ia berhasil mengungkapkan kedalaman sisi lain dari
karakter fenomena politik, dimana jika dilakukan dengan mengambil jarak, hal
semacam itu kecil kemungkinan akan diperoleh. Akan tetapi, komitmen secara
politik dapat membahayakan studi filsafat politik jika ini kemudian meniadakan
dorongan untuk mempertanyakan premis-premis nilai yang dianut oleh mahasiswa
sendiri. Akibatnya karya-karya filsafat politik hanya menjadi alat propaganda
dan polemik dan bukan sebagai sarana untuk menguji secara kritis setiap
pandangan intelektual dengan suatu kerangka moral dan politik yang lebih luas.
References
Beck,
Robert N. ed., Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social
Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967
Bull,
Hedley, “International Relations as an Academic Pursuit”, in Australian
Outlook, Vol. 26, 3
December 1972
Cahn,
Steven M. Political Philosophy, The Essential Texts, Oxford University
Press, New York,
2005
Cox,
Robert W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond International
Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York, Columbia University Press, 1986
Brown,
Alan, Modern Political Philosophy. Penguin Books, Middlesex, 1986
Ebenstein,
William, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart &
Company, Inc. New York,
1959
Flew,
Antony, A
Dictionary of Philosophy, Pan Books, London,
1981
Goodin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Blackwell, Victoria, 2004
Goddin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), Contemporary Political Philosophy: An
Anthology, Blackwell Publisher Ltd, Oxford,
1997
Held,
Virginia, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Penterjemah Drs. Y.
Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989
King,
J. Charles and James A. McGilvray, Political and Social Philosophy:
Traditional and Contemporary Readings,
McGraw-Hill, New York, 1973
Kymlicka,
Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction. Oxford University
Press, Oxford,
1990
Matravers,
Derek and Jon Pike, Debates in Contemporary Political Philosophy An
Anthology, Routledge, London,
2003
McBride,
William L., Social and Political Philosophy, Paragon House, New York, 1994
Murray, A.R.M., An
Introduction to Political Philosophy, Cohen and West, London, 1953
Stewart,
Robert M., Readings
in Social and Political Philosophy, Oxford University
Press, New York,
1996.
Thompson,
John B., Studies in the Theory of Ideology, University of California
Press, Berkeley,
1984
Wolf,
Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, Revised Edition, Oxford University
Press, Oxford,
2006
Wolin,
Sheldon S., Politics and Vision, Expanded Edition. New Jersey, Princeton University
Press, 2004
Nozick,
Robert, Anarchy, State and Utopia, Basic Books, New York, 1974
Labels: TUGAS KULIAH
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home