24 June 2012

SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana
   Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
   Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.
   Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
   Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.

Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a)    Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b)   Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
c)    Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
   Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a)    Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b)   Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c)    Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social welfare) dalam konteks politik sosial (Social Policy).
   Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
   Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a)    Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama.
b)   Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem Peradilan Pidana).
c)    Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.
   Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1.   Susbtansi.
   Merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2.   Struktur.
  Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan  dan Lembaga Pemasyarakatan.
3.  Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
   Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia (realitas) yang mereka ciptakan.
   Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem of criminal justice system )

B. Manfaat Sistem Peradilan Pidana
   Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
a)    Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
b)   Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
c)    Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
d)    Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun masyarakat.


   Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa secara jelas dengan indikator banyaknya residivis telah menunjukkan kegaglan dari LP itu sendiri, segagalan i9ni bukan hanya oleh LP akan tetapi perlu dicermati ada apa dengan Sistem Peradilan Pidana Itu?
   Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
   Sebagai suatu sistem maka di dalam mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya.


D. Teori Pemidanaan
Menurut Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana dikenal ada tiga aliran yaitu:
a.  Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.

b.  Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)

c.  Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.



 sumber :
http://images.dahwirpane.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/T8Q4DQooCG8AAAZSn@I1/Sistem%20Peradilan%20Pidana%20Indonesia.doc?key=dahwirpane:journal:10&nmid=562579946


Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home