21 July 2014

Solusi Konsumen

Era sekarang merupakan suatu kondisi dimana keunggulan kompetitif merupakan syarat bagi kesuksesan perusahaan. Konsumen begitu dimanjakan dengan begitu banyak pilihan untuk memutuskan mana yang akan dibeli, sementara pihak perusahaan dihadapkan pada persoalan yang mahapelik pesaing. Pilihan perusahaan untuk tetap eksis pun Cuma satu, memenangkan persaingan, caranya ? dengan meningkatkan kualitas pelayanan.
Hanya saja masalahnya, banyak pemimpin perusahaan tidak pernah memikirkan berapa nilai ekonomis setiap pelanggannya, sehingga mereka juga tidak menyadari berapa banyak pelanggannya yang hilang setiap tahun karena tidak dilayani dan dirawat dengan baik. Pelayanan masih merupakan hal langka, masih menjadi luxury, merupakan komplimen dan optional, bukan suatu paket yang sudah standar.
Pelayanan kepada konsumen (customer service) memang sudah banyak didiskusikan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu. Seminar dibuka  denga tepuk tangan meriah, diliput puluhan kuli tinta media massa, disorot kamera televise, namu sudahkah aneka macam seminar, workshop, panel diskusi, dan training yang menyoal customer service benar-benar di realisasikan dalam menjalankan perusahaan ? sulit untuk menjawab pertanyaan yang satu ini.
Seperti dikatakan Johanes Lim Ph. D,. penerapan customer service sendiri harus melewati berbagai tahap. Tahap pertama, tindakan kuratif yaitu dengan  mengedapankan customer service. Tahap kedua, tindakan preventif dengan aksi excellen service. Tahap berikutnya, tahap ketiga, tindakan antisipatif dengan menerapkan TCSS.
Untuk kasus yang dihadapi Indonesia, banyak perusahaan masih berkutat pada fase pertama, yaitu menjalankan customer service sebagai tindakan kuratif. Dari banyak perusahaan itupun masih banyak pula perusahaan yang belum mampu melaksanakan tahap pertama ini.
Fase kedua, tindakan preventif, dengan menjalankan program excellen service. Tujuan utama yang sebenarnya adalah untuk lebih memuaskan kebutuhan pelanggan dan sekaligus mencegah timbulnya persoalan (complain) dari pelanggan. Tindakan yang digunakan adalah dengan menciptakan product plus atau value added. Namun sayang, excellen service sering gagal untuk direalisasikan sesuai konsep karena penerapannya bukan sebagai the program melainkan hanya sebagai a program dan bersifat sporadic.
Fase paling mutahkir, fase ketiga, yaitu tindakan antisipatif terhadap perubahan perilaku pasar dengan mengedepankan TCSS. TCSS dimaksudkan sebagai the program, sebagai strategi utama perusahaan agar menjadi competitive adventage bukan sebagai value added. Oleh sebab itu TCSS mempunyai sifat fundamental, radikal, dan revolusioner dengan melibatkan semua level dan semua department. Jika dipandang mendesak, maka dapat pula digunakan reengineering terhadap infrastruktur dan operasional perusahaan.
Gerakan TCSS supaya tidak berhenti dalam dataran konsep semata, Johanes Lim PhD lantas member solusi sukses guna peningkatan kinerja perusahaan. Solusi tersebut, pertama, business linked, quality service merupakan isu mendasar. Quality service tidak boleh dipandang sebagai pilihan ekstra. Program quality service dianggap sebagai sebuah investasi, bukan cost. Karenanya mereka yang mempercayai hal diatas haruslah menunjukkan kepada mereka yang meragukannya bahwa hal di atas dapat memberikan suatu hubungan timbale balik yang menguntungkan.
Solusi kedua, led from the top. Consensus yang ditetapkan perusahaan harus berasal dari top timnya. Kepemimpinan yang piawai, kritis, dan dapat mempengaruhi pemikiran orang lain hanya dapat dilakukan oleh top leader. Pemimpin harus melihat pelayanan sebagai bagian dari tugas manajemen. Karenanya pemimpin harus memiliki strategi untuk mempengaruhi orang-orang dalam rentang kendalinya agar meningkatkan pelayanannya secara kontinyu.
Solusi ketiga, empowerment. Istilah ini menegaskan bahwa pegawai yang berada di garis depan harus mampu menerima tanggung jawab bahwa merekalah pemegang kunci didalam menciptakan pengalaman para pelanggan. Pihak manajemen sendiri harus melatih pegawai garis depan untuk dapat memberikan hal terbaik bagi konsumen, serta memberikan pengakuan dan penghargaan atas usaha-usaha mereka.
Solusi keempat, supporting by training, selection and introduction.
Kesuksesan di dalam memberikan pelayanan terbaik terhadap konsumen jelas tidak melalui jalan pintas. Hanya diperlukan 2% untuk inspirasi, sisanya 98% merupakan kerja keras, dedikasi dan determinasi. Sangat dibutuhkan adanya training untuk mengembangkan sikap dan kemampuan yang diharapkan. Perekrutan orang-orang berbakat lebih ideal dimasukan ke dalam budaya pelayanan perusahaan.
Sumber :
AM. Lilik Agung. 1997. Strategi Bisnis : Marketing dan Manajemen. Yogyakarta : Andi


Labels: , , , ,

Sex Marketing

Filsuf kondang Michael Foucault pernah mengatakan bahwa seks amat berpengaruh terhadap individu dan rekayasa kekuasaan. Dalam uraian panjangnya yang terangkum dalam buku the history of sexuality. Foulcault bertutur bahwa sejak akhir abad XVIII sampai saat ini telah terjadi suatu bentuk individualitas yang justru merupakan kebalikan dari tipe individualitas pada zaman rezim feudal. Manusia hidup dalam sebuah rezim baru, yakni rezim disipliner. Teknik disiplin yang pada mulanya berpusat pada tubuh, lambat laun menyebar ke segala bidang. Individu semakin terspesialisasi. Segala kegiatan individu di control melalui penetapan jadual pelaksanaan dengan tujuan menghasilkan ritme dan keteraturan.
Sejak akhir abad XVIII sampai sekarang ini, kata Foulcoult, terjadi letusan diskursif tentang seks. Seks dibicarakan dimana-mana. Individu dimotivasi untuk mengenal dirinya secara keseluruhan melalui penuturannya tentang seks. Teknik ampuh untuk mendorong individu berbicara tentang seks oleh Foulcault disebut dengan pengakuan. Apa saja oleh individu bersedia dilakukan. Orang mengakui kejahatannya, pikiran-pikirannya, fantasinya, perbuatannya. Teknik pengakuan ini sebenarnya alat control dan pemantauan yang oleh individu sendiri tidak disadari. Individu tidak menyadari bahwa telah terjadi semacam rekayasa kekuasaan terhadap dirinya sendiri (Joao Piedade,1991).
Pikiran cerdas Foulcault ternyata tanpa disadari telah ditindak lanjuti oleh seorang pria di negeri ini. Anehnya, pria tadi bukan ahli filsafat maupun ahli sosial. Ia adalah pakar marketing sekaligus praktisi bisnis kampiun. Kafi Kurnia, demikian nama pria ini. Laki-laki berambut jabrik ini belum lama ini melontarkan gagasan cerdas tentang strategi marketing. Sex Marketing, demikian nama gagasan Kafi Kurnia.
Seperti pandangan Foucault, pendapat Kafi Kurnia tentang sex marketing juga mempengaruhi individu dalam mengelola perusahaan serta rekayasa produk guna menghadapi pesaingnya. Hanya pengertian seks menurut Kafi berbeda jauh dengan pengertian menurut Foucault, seks kata Kafi bukan berarti jenis kelamin atau hubungan badan. Sex adalah sensasional,entrepreneurship dan faktor X.
Dewasa ini terjadi pembalikan yang lumayan serius terhadap perilaku konsumen. Konsumen tidak lagi memperhatikan produk apa yang ditawarkan, namun lebih tertarik terhadap bagaimana cara dan teknik produk itu ditawarkan. Konsumen tidak bakal mempersoalkan jenis produk yang diperjualbelikan, namun terhadap bombardier iklan dan promosi yang mempengaruhinya. “Buang jauh-jauh teori differensiasi produk, Ganti dengan differensiasi konsumen!” kata Kafi dengan lantang dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini. “Dan ingat, Konsumen kita sekarang semakin tidak tahu, Sementara orang-orang marketing semakin pura-pura tak tahu!”.
Lumayan controversial juga pandangan Kafi ini. Namun itulah kecenderungan yang sehari-hari semakin mendekati kebenarannya. Apa yang dilakukan riset dan apa yang dilakukan oleh konsumen, semuanya bertolak belakang. Risel selalu menekankan differensiasi produk. Produk bisa sesering mungkin dapat diubah, entah itu pada kemasan, warna, komposisi, ataupun bentuk. Tetapi akan kecewalah para penganut paham differensiasi produk, kecenderungan besar yang diperhatikan konsumen adalah iklan di media massa.
Produk yang sangat membosankan dapat dimanipulasi menjadi sensasional lewat iklan. Yang sensasional sekarang adalah asap (iklan di media massa) dan buka api (produk). Contohnya, sampo Sunsilk. Sampai detik ini sampo Sunsilk tetap menjadi raja sampo, biarpun kemasan, bentuk atau warnanya sejak dulu sama. Sampo Sunsilk meninggalkan jauh pendukungnya macam Organic, Clear, Dimension yang satu pabrik dengannya, apalagi sampo dari perusahaan lain, mengapa ? karena gencarnya iklan sampo Sunsilk. Di televise, radio, majalah, setiap hari kita pasti menemui iklannya.
Itulah yang oleh Kafi disebut sensasional. Sensasional dalam menawarkan produk ke konsumen. Orang marketing harus lebih dekat dengan konsumen. “Lupakan saja produk Anda, perhatikanlah siapa konsumen produk Anda,” saran Kafi Kurnia sungguh-sungguh.
Namun yang tetap tidak boleh dilupakan adalah produk yang membosankan akan berubah menjadi produk sensasional bila ditangani oleh manusia berdarah dingin. Manusia ini disebut entrepreneurship. Manusia yang mempunyai jiwa dan semangat entrepreneurship. Untuk menjadi seorang entrepreneurship kampiun tidak harus belajar melalui buku-buku tebal atau sekolah di universitas terkemuka, tetapi cukup dengan ketekunan dan kejelian di dalam menangkap peluang.
Prayogo Pangestu, bos Barito Pasific, SMP saja tidak lulus. Markus Alim, pemilik Maspion Group, juga hanya jebolan SMP. Eka Tjipta Widjaja, Soedono Salim, bahkan tak jelas pendidikannya. Tetapi mereka dapat meraih sukses. Mengapa? Karena tekun dan jeli.
Ada satu lagi yang harus diperhatikan dalam meraih sukses marketing. Kafi Kurnia menyebut faktor X. Faktor X ini sulit untuk didefinisikan. Tapi Kafi memberi  gambaran yang disebut 3K, yaitu keberanian, keberuntungan, dan kebetulan. Dengan penekanan pada faktor keberanian, orang-orang marketing yang ingin sukses harus berani betindak, keberanian yang disertai logika cenderung akan diikuti oleh keberuntungan dan kebetulan.
Kini pokok persoalan yang mengedepan adalah bagaimana mengkomunikasikan sex ? untuk mengkomunikasikan sex harus mempunyai 2 ideologi utama. Pertama, sex adalah tukang jual nomor wahid. Kedua, sex perlu ekstra humor, yang oleh karenanya ia harus divisualisasikan melalui iklan.
Inilah gagasan cerdas yang disebut sex marketing. Anda berani mencoba ?

Sumber :

AM. Lilik Agung. 1997. Strategi Bisnis : Marketing dan Manajemen. Yogyakarta : Andi

Labels: , , ,